Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1997
Tentang Psikotropika
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susnan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
2. Pabrik obat adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki
izin dari Menteri untuk melakukan kegiatan produksi serta
penyaluran obat dan bahan obat, termasuk psikotropika.
3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah,
membuat, menghasilkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk
psikotropika.
4. Kemasan psikotropika adalah bahan yang digunakan untuk
mewadahi dan/atau membungkus psikotropika, baik yang bersentuhan
langsung maupun tidak.
5. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
penyaluran atau penyerahan psikotropika, baik dalam rangka
perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan.
6. Perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
dalam rangka pembelian dan/atau penjualan, termasuk penawaran
untuk menjual psikotropika, dan kegiatan lain berkenaan dengan
pemindahtanganan psikotropika dengan memperoleh imbalan.
7. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbadan hukum
yang memiliki izin dari Menteri untuk melakukan kegiatan penyaluran
sediaan farmasi, termasuk psikotropika dan alat kesehatan.
8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
dalam rangka memindahkan psikotropika dari suatu tempat ke
tempat lain, dengan cara, moda, atau sarana angkutan apapun,
dalam rangka produksi dan peredaran.
9. Dokumen pengangkutan adalah surat jalan dan/atau faktur
yang memuat keterangan tentang identitas pengirim, dan penerima,
bentuk, jenis, dan jumlah psikotropika yang diangkut.
10. Transito adalah pengangkutan psikotropika di wilayah
Republik Indonesia dengan atau tanpa berganti sarana angkutan
antara dua negara lintas.
11. Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan psikotropika,
baik antar penyerah maupun kepada pengguna dalam rangka pelayanan
kesehatan.
12. Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan adalah
lembaga yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya
melakukan kegiatan penelitian dan/atau menggunakan psikotropika
dalam penelitian, pengembangan, pendidikan, atau pengajaran
dan telah mendapat persetujuandari Menteri dalam rangka kepentingan
ilmu pengetahuan.
13. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau
kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.
14. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang
kesehatan.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam
undang-undang ini adalah segala kegiatan yang berhubungan
dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
(2) Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma
ketergantungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan
menjadi :
a. psikotropika golongan I;
b. psikotropika golongan II;
c. psikotropika golongan III;
d. psikotropika golongan IV.
(3) Jenis-jenis psikotropika golongan I, psikotropika golongan
II, psikotropika golongan III, psikotropika golongan IV sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) untuk pertama kali ditetapkan dan dilampirkan
dalam undang-undang ini, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut untuk penetapan dan perubahan
jenis-jenis psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur oleh Menteri.
Pasal 3
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. memberantas peredaran gelap psikotropika.
Pasal 4
(1) Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan.
(2) Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan
ilmu pengetahuan.
(3). Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
psikotropika golongan I dinyatakan sebagai barang terlarang.
BAB III
PRODUKSI
Pasal 5
Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang
telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 6
Psikotropika golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan
dalam proses produksi.
Pasal 7
Psikotropika, yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat,
harus memenuhi standar dan/atau persyaratan farmakope Indonesia
atau buku standar lainnya.
BAB IV
PEREDARAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 8
Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
Pasal 9
(1) Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah
terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang
kesehatan.
(2) Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran
psikotropika yang berupa obat.
Pasal 10
Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika,
wajib dilengkapi dengan dokumen pengangkutan psikotropika.
Pasal 11
Tata cara peredaran psikotropika diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 12
(1) Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat,
pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah.
(2) Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat dilakukan oleh:
a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana
penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
b. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lainnya,apotek,
sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit,
dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
c.Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada rumah
sakit Pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan Pemerintah.
(3) Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik
obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian
dan/atau lembaga pendidikan guna Psikotropika.
Pasal 13
Psikotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan
dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi
kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang
bersangkutan.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 14
(1) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh apotek,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan
kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan,
dokter, dan kepada pengguna/pasien.
(3) Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan,
puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
kepada pengguna/pasien.
(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas,
dan balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan resep dokter.
(5) Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilaksanakan dalam hal:
a. Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari apotek.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan begi kegiatan penyerahan
psikotropika diatur oleh Menteri.
BAB V
EKSPOR DAN IMPOR
Bagian Pertama
Surat Persetujuan Ekspor dan
Surat Persetujuan Impor
Pasal 16
(1) Ekspor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik
obat atau pedagang besar farmasi yang telah memiliki izin
sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Impor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik
obat atau pedagang besar farmasi yang telah memiliki izin
sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, serta lembaga penelitian atau lembaga pendidikan.
(3) Lembaga penelitian dan/atau pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilarang untuk mengedarkan psikotropika yang
diimpornya.
Pasal 17
(1) Eksporitr psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) harus memiliki surat persetujuan ekspor untuk
setiap kali melakukan kegiatan ekspor psikotropika.
(2) Importir psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (2) harus memiliki surat persetujuan impor untuk setiap
kali melakukan kegiatan impor psikotropika.
(3) Surat persetujuan impor psikotropika golongan I hanya
dapat diberikan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Pasal 18
(1) Untuk dapat memperoleh surat persetujuan ekspor atau
surat persetujuan impor psikotropika, eksportir atau importir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Menteri.
(2) Permohonan secara tertulis untuk memperoleh surat persetujuan
ekspor psikotropika dilampiri dengan surat persetujuan impor
psikotropika yang telah mendapat persetujuan dari dan/atau
dikeluarkan oleh pemerintah negara pengimpor psikotropika.
(3) Menteri menetapkan persyaratan yang wajib dicantumkan
dalam permohonan tertulis untuk memperoleh surat persetujuan
ekspor atau surat persetujuan impor psikotropika.
Pasal 19
Menteri menyampaikan salinan surat persetujuan impor psikotropika
kepada pemerintah negara pengekspor psikotropika.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan ekspor
atau impor psikotropika diatur oleh Menteri.
Bagian Kedua
Pengangkutan
Pasal 21
(1) Setiap pengangkutan ekspor psikotropika wajib dilengkapi
dengan surat persetujuan ekspor psikotropika yang dikeluarkan
oleh Menteri.
(2) Setiap pengenkutan impor psikotropika wajib dilengkapi
dengan surat persetujuan ekspor psikotropika yang dikeluarkan
oleh pemerintah negara pengekspor.
Pasal 22
(1) Eksportir psikotropika wajib memberikan surat persetujuan
ekspor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan impor
psikotropika dari pemerintah negara pengimpor kepada orang
yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan
ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor psikotropika
dari Menteri dan surat persetujuan impor Psikotropika dari
pemerintah negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor psikotropika wajib
membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan
ekspor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan impor
psikotropika dari pemerintah negara pengimpor.
(4) Penanggung jawab pengangkut impor psikotropika yang memasuki
wilayah Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab
atas kelengkapan surat persetujuan impor psikotropika dari
Menteri dan surat persetujuan ekspor psikotropika dari pemerintah
negara pengekspor.
Bagian Ketiga
Transito
Pasal 23
(1) Setiap transito psikotropika harus dilengkapi surat persetujuan
ekspor psikotropika yang terlebih dahulu mendapat persetujuan
dari dan/atau dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor
psikotropika.
(2) Surat persetujuan ekspor psikotropika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor psikotropika;
b. jenis, bentuk dan jumlah psikotropika; dan
c. negara tujuan ekspor psikotropika.
Pasal 24
Setiap perubahan negara tujuan ekspor psikotropika pada transito
psikotropika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan
dari:
a. pemerintah negara pengekspor psikotropika;
b. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor
psikotropika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor psikotropika.
Pasal 25
Pengemasan kembali psikotropika di dalam gudang penyimpanan
atau sarana angkutan pada transito psikotropika, hanya dapat
dilakukan terhadap kemasan asli psikotropika yang mengalami
kerusakan dan harus dilakukan di bawah pengawasan dari pejabat
yang berwenang.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan transito
psikotropika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemeriksaan
Pasal 27
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen
ekspor, impor, dan/atau transito psikotropika.
Pasal 28
(1) Importir psikotropika memeriksa psikotropika yang diimpornya,
dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri, yang dikirim
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya
impor psikotropika di perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Menteri menyampaikan hasil penerimaan impor psikotropika
kepada pemerintah negara pengekspor.
BAB VI
LABEL DAN IKLAN
Pasal 29
(1) Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan psikotropika.
(2) Label psikotropika adalah setiap keterangan mengenai
psikotropika yang dapat berbentuk tulisan, kombinasi gambar
dan tulisan, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan
atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan
bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
Pasal 30
(1) Setiap tulisan berupa keterangan yang dicantumkan pada
label psikotropika harus lengkap dan tidak menyesatkan.
(2) Menteri menetapkan persyaratan dan/atau keterangan yang
wajib atau dilarang dicantumkan pada label psikotropika.
Pasal 31
(1) Psikotropika hanya dapat diiklankan pada media cetak
ilmiah kedokteran dan/atau media cetak ilmiah farmasi.
(2) Persyaratan materi iklan psikotropika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
BAB VII
KEBUTUHAN TAHUNAN DAN PELAPORAN
Pasal 32
Menteri menyusun rencana kebutuhan psikotropika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan untuk setiap tahun.
Pasal 33
(1) Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan
sediaan pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan,
wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing
yang berhubungan dengan psikotropika.
(2) Menteri melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaa
pembuatan dan penyimpanan catatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 34
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit,
puskesmas, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan
wajib melaporkan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (1) kepada Menteri secara berkala.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyusunan rencana
kebutuhan tahunan psikotropika dan mengenai pelaporan kegiatan
yang berhubungan dengan psikotropika diatur oleh Menteri.
BAB VIII
PENGGUNA PSIKOTROPIKA DAN REHABILITASI
Pasal 36
(1) Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki, menyimpan,
dan/atau membawa psikotropika untuk digunakan dalam rangka
pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mempunyai bukti bahwa psikotropika yang dimiliki,
disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5).
Pasal 37
(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan
berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pada fasilitas rehabilitasi.
Pasal 38
Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma
ketergantungan dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan
kemampuan fisik, mental, dan sosialnya.
Pasal 39
(1) Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita
sindroma ketergantungan dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi
yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Penyelenggaraan fasilitas rehabilitasi medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan
atas dasar izin dari Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan rehabilitasi
dan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Pemilikan psikotropika dalam jumlah tertentu oleh wisatawan
asing atau warga asing yang memasuki wilayah negara Indonesia
dapat dilakukan sepanjang digunakan hanya untuk pengobatan
dan/atau kepentingan pribadi dan yang bersangkutan harus mempunyai
bukti bahwa psikotropika berupa obat dimaksud diperoleh dengan
sah.
Pasal 41
Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan
yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika
dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut
untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan.
BAB IX
PEMANTAUAN PREKURSOR
Pasal 42
Prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan
untuk melakukan tindak pidana psikotropika ditetapkan sebagai
barang di bawah pemantauan Pemerintah.
Pasal 43
Menteri menetapkan zat atau bahan prekursor dan alat-alat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
Pasal 44
Tata cara penggunaan dan pemantauan prekursor dan alat-alat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 45
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang
berhubungan dengan psikotropika.
Pasal 46
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diarahkan untuk:
a. terpenuhinya kebutuhan psikotropika guna kepentingan pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian
yang dapat menimbulkan gangguan dan/atau bahaya atas terjadinya
penyalahgunaan psikotropika;
d. memberantas peredaran gelap psikotropika;
e. mencegah pelibatan anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun dalam kegiatan penyalahgunaan dan/atau peredaran
gelap psikotropika; dan
f. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan
teknologi di bidang psikotropika guna kepentingan pelayanan
kesehatan.
Pasal 47
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat melakukan kerja
sama internasional di bidang psikotropika sesuai dengan kepentingan
nasional.
Pasal 48
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat memberikan penghargaan
kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam membantu
pencegahan penyalahgunaan psikotropika dan/atau mengungkapkan
peristiwa tindak pidana di bidang psikotropika.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pembinaan segala
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 50
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan
yang berhubungan dengan psikotropika, baik yang dilakukan
oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat.
(2) Dalam rangka pengawasan, Pemerintah berwenang:
a. melaksanakan pemeriksaan setempat dan/atau pengambilan
contoh pada sarana produksi, penyaluran, pengangkutan, penyimpanan,
sarana pelayanan kesehatan dan fasilitas rehabilitasi;
b. memeriksa surat dan/atau dokumen yang berkaitan dengan
kegiatan di bidang psikotropika;
c. melakukan pengamanan terhadap psikotropika yang tidak
memenuhi standar dan persyaratan; dan
d. melaksanakan evaluasi terhadap hasil pemeriksaan.
(3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilengkapi dengan surat tugas.
Pasal 51
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil
tindakan administratif terhadap pabrik obat, pedagang besar
farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan fasilitas rahabilitasi
yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang
ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pencabutan izin praktek.
Pasal 52
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan, bentuk pelanggaran
dan penerapan sanksinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) diatur
oleh Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB XI
PEMUSNAHAN
Pasal 53
(1) Pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal:
a. berhubungan dengan tindak pidana;
b. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi
psikotropika;
c. kadaluwarsa;
d. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan
dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
(2) Pemusnahan psikotropika sebagaimana dimaksud:
a. pada ayat (1) butir a dilakukan oleh suatu tim yang terdiri
dari pejabat yang mewakili departemen yang bertanggung jawab
di bidang kesehatan, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dan Kejaksaan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku,
dan ditambah pejabat dari instansi terkait dengan tempat terungkapnya
tindak pidan tersebut, dalam waktu tujuh hari setelah mendapat
kekuatan hukum tetap;
b. pada ayat (1) butir a, khusus golongan I, wajib dilaksanakan
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dilakukan penyitaan;
dan
c. pada ayat (1) butir b, butir c, dan butir d dilakukan
oleh Pemerintah, orang, atau badan yang bertanggung jawab
atas produksi dan/atau peredaran psikotropika, sarana kesehatan
tertentu, serta lembaga pendidikan dan/atau lembaga penelitian
dengan disaksikan oleh pejabat departemen yang bertanggung
jawab di bidang kesehatan, dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
mendapat kepastian sebagaimana dimaksud pada ayat tersebut.
(3) Setiap pemusnahan psikotropika, wajib dibuatkan berita
acara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemusnahan psikotropika
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 54
(1) Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta dalam membantu mewujudkan upaya pencegahan
penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan undang-undang ini
dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang
bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan dan/atau
dimiliki secara tidak sah.
(3) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perlu mendapatkan
jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 55
Selain yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209), penyidik polisi
negara Republik Indonesia dapat:
a. melakukan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan
teknik pembelian terselubung;
b. membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos
atau alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang menyangkut psikotropika yang sedang dalam
penyidikan;
c. menyadap pembicaraan melalui telepon dan/atau alat telekomunikasi
elektronika lainnya yang dilakukan oleh orang yang dicurigai
atau diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan
tindak pidana psikotropika. Jangka waktu penyadapan berlangsung
untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 56
(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia,
kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu diberi wewnang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)
untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan
tentang tindak pidana di bidang psikotropika;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang psikotropika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang psikotropika;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang psikotropika;
e. melakukan penyimpanan dan pengamanan terhadap barang bukti
yang disita dalam perkara tindak pidana di bidang psikotropika;
f. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain
tentang tindak pidana di bidang psikotropika;
g. membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos
atau alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang menyangkut psikotropika yang sedang dalam
penyidikan;
h. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang psikotropika;
i. menetapkan saat dimulainya dan dihentikannya penyidikan.
(3) Hal-hal yang belum diatur dalam kewenangan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang
berlaku, terutama mengenai tata cara penyidikan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 57
(1) Di depan pengadilan, sanksi dan/ orang lain dalam perkara
psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut
nama, alamat, atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat
terungkap identitas pelapor.
(2) Pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan akan dimulai,
hakim memberikan peringatan terlebih dahulu kepda saksi dan/
orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana
psikotropika, untuk tidak menyebut identitas pelapor, sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 58
Perkara psikotropika termasuk perkara yang lebih didahulukan
dari pada perkara yang lain intuk diajukan ke pengadilan guna
pemeriksaan dan penyelesaian secepatnya.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 59
(1) Barang siapa:
a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2); atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi
psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3); atau
d. mengimpor psikotropika golongan I selain kepentingan ilmu
pengetahuan; atau
e. secara tanpa hak milik, menyimpan dan/ atau membawa psikotropika
golongan I.
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun,
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama
20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp. 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi,
maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi
dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
Pasal 60
(1) Barang siapa:
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam
ketentuan Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam benruk
obat yang tidak memenuhi standar dan/ atau persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa
obat ayng tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung
jawab dibidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan
dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain ditetapkan
dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan
dalam Pasal 14 ayat (1), pasal 14 ayat (2), pasal 14 ayat
(3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan dipidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika yang ditetapkan
dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) , dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 61
(1) Barangsiapa:
a. mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditantukan
dalam Pasal 16, atau
b. mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan
ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17; atau
c. melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika
tanpa dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor atau surat
persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(3) dan Pasal 22 ayat (4);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
(2) Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor
kepada orang yang bertanggung jawab atau pengangkutan ekspor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
Pasal 62
Barangsiapa yang secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/
atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 63
(1) Barangsiapa:
a. melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen
pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
b. melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
c. melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam juta
rupiah).
(2) Barangsiapa:
a. tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29; atau
b. mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1); atau
c. mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1); atau
d. melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) atau
Pasal 53 ayat (3);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pasal 64
Barangsiapa:
a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantuan untuk
menjalani pengobatan dan/ atau perawatan pada fasilitas rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37; atau
b. menyelenggarakan fasilitas rehabilitas yang tidak memiliki
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/ atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah).
Pasal 65
Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/ atau
pemilikan psikotropika secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp.
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Pasal 66
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika
yang sedang dalam pemeriksaan disidang pengadilan yang menyebut
nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas
pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 67
(1) Kepada warga negara asing yang melakukan tindak pidana
psikotropika dan telah selesai menjalani hukuman pidana dengan
putusan pengadilan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini dilakukan pengusiran ke luar
wilayah Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat kembali ke Indonesia setelah jangka waktu tertentu sesuai
dengan putusan pengadilan.
Pasal 68
Tindak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini adalah kejahatan.
Pasal 69
Percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana psikotropika
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana sama dengan
jika tindak pidana tersebut dilakukan.
Pasal 70
Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 64 dilakukan
oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana
tersebut dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan
ijin usaha.
Pasal 71
(1) Barangsiapa bersekongkol atau sepakat untuk melakukan,
melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan
dan mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, atau Pasal 63 dipidana
sebagai permufakatan jahat.
(2) Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk
tindak pidana tersebut.
Pasal 72
Jika tindak pida Psikotropika dilakukan dengan menggunakan
anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah atau orang yang dibawah pengampuan atau ketika melakukan
tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani
seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya,
ancaman pidana ditambah sepertiga pidanya yang berlaku untuk
tindak pidana tersebut.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
(1) Barang siapa:
a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2); atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi
psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3); atau
d. mengimpor psikotropika golongan I selain kepentingan ilmu
pengetahuan; atau
e. secara tanpa hak milik, menyimpan dan/ atau membawa psikotropika
golongan I.
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun,
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama
20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp. 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi,
maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi
dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
Pasal 60
(1) Barang siapa:
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam
ketentuan Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam benruk
obat yang tidak memenuhi standar dan/ atau persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa
obat ayng tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung
jawab dibidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan
dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain ditetapkan
dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan
dalam Pasal 14 ayat (1), pasal 14 ayat (2), pasal 14 ayat
(3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan dipidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika yang ditetapkan
dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) , dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 61
(1) Barangsiapa:
a. mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditantukan
dalam Pasal 16, atau
b. mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan
ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17; atau
c. melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika
tanpa dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor atau surat
persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(3) dan Pasal 22 ayat (4);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
(2) Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor
kepada orang yang bertanggung jawab atau pengangkutan ekspor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
Pasal 62
Barangsiapa yang secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/
atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 63
(1) Barangsiapa:
a. melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen
pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
b. melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
c. melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam juta
rupiah).
(2) Barangsiapa:
a. tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29; atau
b. mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1); atau
c. mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1); atau
d. melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) atau
Pasal 53 ayat (3);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pasal 64
Barangsiapa:
a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantuan untuk
menjalani pengobatan dan/ atau perawatan pada fasilitas rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37; atau
b. menyelenggarakan fasilitas rehabilitas yang tidak memiliki
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/ atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah).
Pasal 65
Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/ atau
pemilikan psikotropika secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp.
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Pasal 66
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika
yang sedang dalam pemeriksaan disidang pengadilan yang menyebut
nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas
pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 67
(1) Kepada warga negara asing yang melakukan tindak pidana
psikotropika dan telah selesai menjalani hukuman pidana dengan
putusan pengadilan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini dilakukan pengusiran ke luar
wilayah Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat kembali ke Indonesia setelah jangka waktu tertentu sesuai
dengan putusan pengadilan.
Pasal 68
Tindak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini adalah kejahatan.
Pasal 69
Percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana psikotropika
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana sama dengan
jika tindak pidana tersebut dilakukan.
Pasal 70
Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 64 dilakukan
oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana
tersebut dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan
ijin usaha.
Pasal 71
(1) Barangsiapa bersekongkol atau sepakat untuk melakukan,
melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan
dan mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, atau Pasal 63 dipidana
sebagai permufakatan jahat.
(2) Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk
tindak pidana tersebut.
Pasal 72
Jika tindak pida Psikotropika dilakukan dengan menggunakan
anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah atau orang yang dibawah pengampuan atau ketika melakukan
tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani
seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya,
ancaman pidana ditambah sepertiga pidanya yang berlaku untuk
tindak pidana tersebut.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 74
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 11 Maret 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Maret 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 10 |