UU
RI No22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
2. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah,
membuat, menghasilkan, mengemas, dan/ atau mengubah bentuk
narkotika termasuk mengekstraksi, mengkonversi, atau merakit
narkotika untuk memproduksi obat.
3. Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika ke dalam Daerah
Pabean.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dari Daerah
Pabean.
5. Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan
hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.
6. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan Menteri
Kesehatan untuk mengimpor narkotika.
7. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan Menteri
Kesehatan untuk mengekspor narkotika.
8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain, dengan
cara moda, atau sarana angkutan apapun.
9. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan
kegiatan penyaluran sediaan farmasi termasuk narkotika dan
alat kesehatan.
10. Pabrik obat adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan
produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk narkotika.
11. Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari
suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di
Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat Kantor Pabean
dengan satu atau tanpa berganti sarana angkutan.
12. Pecandu adalah orang yang menggunakan menyalahgunakan
narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika,
baik secara fisik maupun psikis.
13. Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk
menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan
gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan.
14. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika
tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.
15. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan
narkotik.
16.Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan
secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas
pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial
dalam kehidupan masyarakat.
17. Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih
dengan maksud bersepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika.
18. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan
penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan
penyadapan pembicaraan melalui telepon dan atau alat komunikasi
elektronika lainnya.
19. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau
kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.
BAB II
RUANG LIGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang
ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang
berhubungan dengan narkotika.
(2) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan
menjadi:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(3) Penggolongajustifyn narkotika sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) untuk pertama kalinya ditetapkan sebagaimana terlampir
dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang
ini.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan penggolongan
narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 3
Pengaturan narkotika bertujuan untuk:
a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan
c. memberantas peredaran gelap narkotika.
Pasal 4
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 5
Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk
kepentingan lainnya.
BAB III
PENGADAAN
Bagian Pertama
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 6
(1) Menteri Kesehatan mengupayakan tersedianya narkotika
untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan
ilmu pengetahuan.
(2) Untuk keperluan tersedianya narkotika sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyusun rencana kebutuhan
narkotika setiap tahun.
(3) Rencana kebutuhan narkotika sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan
narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan
tahunan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 7
(1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari
impor, produksi dalam negeri dan/atau sumber lain dengan berpedoman
pada rencana kebutuhan tahunan narkotika sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2).
(2) Narkotika yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah pengendalian, pengawasan,
dan tanggung jawab Menteri Kesehatan.
Bagian Kedua
Produksi
Pasal 8
(1) Menteri Kesehatan memberi izin khusus untuk memproduksi
narkotika kepada pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Menteri Kesehatan melakukan pengendalian tersendiri dalam
pelaksanaan pengawasan terhadap proses produksi, bahan baku
narkotika, dan hasil akhir dari proses narkotika.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin
dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 9
(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan
dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan
dengan pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
produksi dan/ataupenggunaan dalam proses produksi dalam jumlah
yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Ketiga
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan
Pasal 10
(1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan,
pelatihan, ketrampilan, dan penelitian dan pengembangan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Swasta, yang secara
khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan,
penelitian dan pengembangan, dapat memperoleh, menenm, menyimpan,
dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan
setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata
cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Keempat
Penyimpangan dan Pelaporan
Pasal 11
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan importir, eksportir,
pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib disimpan
secara khusus.
(2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi,
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu
pengetahuan, wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan
berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika
yang ada dalam penguasaaanya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan
secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan jangka
waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikenakan sanksi
administratif oleh Menteri Kesehatan berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
BAB IV
IMPOR DAN EKSPOR
Bagian Pertama
Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 12
(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin
sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi
izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
melaksanakan impor narkotika.
Pasal 13
(1) Importir narkotika harus memiliki surat persetujuan impor
untuk setiap kali melakukan impor narkotika dari Menteri Kesehatan.
(2) Surat Persetujuan impor narkotika Golongan I dalam jumlah
yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan.
(3) Surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.
Pasal 14
Pelaksanaan impor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan
pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan
dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara pengekspor.
Pasal 15
(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin
sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi
izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
melaksanakan ekspor narkotika.
Pasal 16
(1) Eksportir narkotika harus memiliki surat persetujuan
ekspor untuk setiap kali melakukan ekspor narkotika dari Menteri
Kesehatan.
(2) Untuk memperoleh surat persetujuan ekspor narkotika harus
dilampiri dengan surat persetujuan dari negara pengimpor.
Pasal 17
Pelaksanaan ekspor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan
pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan
dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 18
Impor dan ekspor narkotika hanya dilakukan melalui kawasan
pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh
surat persetujuan impor dan surat persetujuan ekspor narkotika
diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Kedua
Pengangkutan
Pasal 20
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan
barang, tetap berlaku bagi pengangkutan narkotika kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini atau diatur kemudian
berdasarkan ketentuan undang-undang ini.
Pasal 21
(1) Setiap pengangkutan impor narkotika wajib dilengkapi
dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara
pengekspor dan surat persetujuan impor narkotika yang dikeluarkan
oleh Menteri Kesehatan.
(2) Setiap pengangkutan ekspor narkotika wajib dilengkapi
dengan surat persetujuan ekspor narkotika yang dikeluarkan
oleh Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika
yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di negara pengimpor.
Pasal 22
Penanggung jawab pengangkut impor narkotika yang memasuki
Wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung
jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor narkotika dari
Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan ekspor narkotika
yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di negara pengekspor.
Pasal 23
(1) Eksportir narkotika wajib memberikan surat persetujuan
ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan
impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung
jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan
ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika
dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika
yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor narkotika wajib membawa
dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan ekspor
narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor
narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 24
(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan
pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam
kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
(2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan narkotika
yang diangkut.
(3) Nakhoda, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
jam setelah tiba di pelabuhan tujuan, wajib melaporkan narkotika
yang dimuat dalam kapalnya kepada Kepala Kantor Pabean setempat.
(4) Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan
pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh Pejabat Bea dan
Cukai.
(5) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal
secara tanpa hak, wajib membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan
pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera
melaporkan dan menyerahkan narkotika tersebut kepada pihak
yang berwenang.
Pasal 25
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku pula
bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.
Bagian Ketiga
Transito
Pasal 26
(1) Transito narkotika harus dilengkapi dengan dokumen persetujuan
ekspor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor
dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah dari pemerintah
negara pengimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.
(2) Dokumen persetujuan ekspor narkotika dari pemerintah
negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat
keterangan tentang:
a. nama dan alat pengekspor dan pengimpor narkotika;
b. jenis, bentuk, dan jumlah narkotika; dan
c. negara tujuan ekspor narkotika.
Pasal 27
Setiap perubahan negara tujuan ekspor narkotika pada transito
narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan
dari:
a. pemerintah negara pengekspor narkotika;
b. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor
narkotika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor narkotika.
Pasal 28
Pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika, hanya
dapat dilakukan terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami
kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung jawab pengawasan
Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan transito narkotika
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemeriksaan
Pasal 30
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapandokumen
impor, ekspor, dan/atau transito narkotika.
Pasal 31
(1) Importir narkotika memeriksa narkotika yang diimpornya
dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri Kesehatan selambat-lambatnya
7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor narkotika
di perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Menteri Kesehatan menyampaikan hasil penerimaan
impor narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.
BAB V
PEREDARAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 32
Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka
perdagangan, bukan perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 33
(1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan
setelah terdaftar pada Departemen Kesehatan.
(2) Narkotika Golongan II dan III yang berupa bahan baku
baik alamiah maupun sintetis dapat diedarkan tanpa wajib daftar
pada Departemen Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara pendaftaran narkotika dalam bentuk obat jadi dan peredaran
narkotika yang berupa bahan baku diatur dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
Pasal 34
Setiap kegiatan dalam rangka peredaran narkotika wajib dilengkapi
dengan dokumen yang sah.
Bagian Kedua
Penyaluran
Pasal 35
(1) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi,
dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah dapat melakukan
kegiatan penyaluran narkotika berdasarkan ketentuan dalam
undang-undang ini.
(2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi,
dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran
narkotika dari Menteri Kesehatan.
Pasal 36
(1) Importir hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pabrik
obat tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
(2) Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika
kepada:
a. eksportir;
b. pedagang besar farmasi tertentu;
c. apotek;
d. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
e. rumah sakit; dan
f. lembaga ilmu pengetahuan tertentu.
(3) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan
narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
d. rumah sakit;
e. lembaga ilmu pengetahuan; dan
f. eksportir.
(4) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu
hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
a. rumah sakit pemerintah;
b. puskesmas; dan
c. balai pengobatan pemerintah tertentu.
Pasal 37
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat
tertentu dan/atau pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga
ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan.
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
penyaluran narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 39
(1) Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. puskesmas;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. puskesmas;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien
(3) Rumah sakit, apotek, puskesmas, dan balai pengobatan
hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan
resep dokter.
(4) Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan
dalam hal:
a. menjalankan praktek dokter dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat melalui suntikan;
atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu
yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
hanya dapat diperoleh dari apotek.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
penyerahan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
BAB VI
LABEL DAN PUBLIKASI
Pasal 41
(1) Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika
baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika.
(2) Label pada kemasan narkotika sebagaimana dimaksud dalan
ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan
dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan
atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau merupkan
bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label narkotika
harus lengkap dan tidak menyesatkan.
Pasal 42
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah
kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara publikasi
dan pencantuman label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
dan Pasal 42 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
BAB VII
PENGOBATAN DAN REHABILITASI
Pasal 44
(1) Untuk kepentingan pengobatan dan/atau perawatan, pengguna
narkotika dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika.
(2) Pengguna narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus mempunyai bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan,
dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah.
Pasal 45
Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan.
Pasal 46
(1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum
cukup umur wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk
oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pecandu narkotika yang telah cukup umur wajib melaporkan
diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pejabat yang
ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 47
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut
tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu
narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan
sebagai masa menjalani hukuman.
Pasal 48
(1) Pengobatan dan/atau perawatan pecandu narkotika dilakukan
melalui fasilitas rehabilitasi.
(2) Rehabilitasi meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
Pasal 49
(1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah
sakit ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(2) Atau dasar persetujuan Menteri Kesehatan, lembaga rehabilitasi
tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat melakukan
rehabilitasi medis pecandu narkotika.
(3) Selain pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan
oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 50
Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dilakukan pada
lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Meneteri Sosial.
Pasal 51
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 diatur dengan Keputusan Menteri Sosial.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 52
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan
yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
upaya:
a. memenuhi ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
b. mencegah dan memberantas segala bentuk penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika;
c. mencegah pelibatan anak di bawah umur dalam penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika;
d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan
teknologi di bidang narkotika guna kepentingan pelayanan kesehatan;
dan
e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi pecandu narkotika
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 53
Pemerintah mengupayakan kerjasama bilateral, regional, multilateral
dengan negara lain dan/atau badan internasional guna mencegah
dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
sesuai dengan kepentingan nasional.
Pasal 54
(1) Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika
tingkat nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(2) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas
melakukan koordinasi dalam rangka ketersediaan, pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(3) Ketentuan mengenai susunan, kedudukan organisasi dan
tata kerja badan narkotika nasional sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dengan Keputusan Presiden.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 55
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan
yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata
cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Menteri Kesehatan bertanggung jawab dalam pengendalian
dan pengawasan terhadap importir, eksportir, pabrik obat,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan,
dokter, lembaga ilmu pengetahuan, dan lembaga rehabilitasi
medis.
(2) Petugas yang melaksanakan pengawasan, dilengkapi dengan
surat tugas.
(3) Dalam hal diketemukan adanya bukti permulaan yang cukup
atau berdasarkan petunjuk permulaan yang patut diduga telah
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini,
Menteri Kesehatan berwenang mengenakan sanksi administratif
dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
(4) Untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, sanksi
administratif dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dapat ditangguhkan untuk sementara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata
cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 57
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang
apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika.
(3) Pemerintah wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan
kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 58
Pemerintah memberi penghargaan kepada anggota masyarakat
atau badan yang telah berjasa dalam membantu upaya pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
dan/atau pengungkapan tindak pidana narkotika.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat, jaminan
keamanan dan perlindungan, syarat dan tata cara pemberian
penghargaan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PEMUSNAHAN
Pasal 60
Pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal:
a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi;
b. kadaluarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan
dan/atau berkaitan untuk pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. berkaitan dengan tindak pidana.
Pasal 61
(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 huruf a, b, dan c dilaksanakan oleh Pemerintah, orang,
atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran
narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan
tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Kesehatan.
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
dilakukan pemusnahan; dan
c. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksanan dan pejabat
yang memyaksikan pemusnahan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 62
(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 huruf d dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan masih dalam
tahap penyelidikan dan penyidikan, pemusnahan dilakukan oleh
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan disaksikan
oleh pejabat yang mewakili Kejaksaan, Departemen Kesehatan,
dan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang menguasai barang
sitaan;
b. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, pemusnahan dilakukan
oleh Pejabat Kejaksaan dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Departemen Kesehatan.
(2) Apabila dalam keadaan tertentu pejabat yang mewakili
instansi sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) huruf a tidak
dapat dipenuhi, maka pemusnahan narkotika dilakukan oleh Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan disaksikan
pejabat dari tempat kejadian perkara tindak pidana tersebut.
(3) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang
sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika;
dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat
yang menyaksikan pemusnahan.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemusnahan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana berlaku bagi pemusnahan narkotika, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang ini.
BAB XI
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 63
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tindak pidana narkotika, dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini.
Pasal 64
Perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari
perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian
secepatnya.
Pasal 65
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, kepada Penyidik Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi masalah narkotika dapat
diberikan wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana narkotika.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan
tentang tindak pidana narkotika;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana narkotika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan tindak pidana narkotika;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang
bukti perkara tindak pidana narkotika;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain
tentang tindak pidana narkotika;
f. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan tindak
pidana narkotika; dan
g. menangkap dan menahan orang yang disangka melakukan tindak
pidana narkotika.
Pasal 66
(1) Penyidik berwenang untuk membuka dan memeriksa setiap
barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya,
yang diduga keras mempunyai hubungan dengan tindak pidana
narkotika yang sedang dalam penyidikan.
(2) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang
diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana narkotika, berwenang untuk menyadap pembicaraan melalui
telepon atau alat telekomunikasi lain yang dilakukan oleh
orang yang diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan
dengan tindak pidana narkotika.
(3) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berlangsung untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari.
Pasal 67
(1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap
orang yang diduga keras berdasarkan bukti permulaan yang cukup
melakukan tindak pidana narkotika untuk paling lama 24 (dua
puluh empat) jam.
(2) Dalam hal waktu untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) belum mencukupi, maka atasan langsung penyidik
dapat memberi izin untuk memperpanjang penengkapan tersebut
untuk paling lama 48 (empat puluh delapan) jam.
Pasal 68
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang
melakukan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik
pembelian terselubung.
Pasal 69
(1) Penyidik yang melakukan penyitaan narkotika, atau yang
diduga narkotika, atau yang mengandung narkotika wajib melakukan
penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan
dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika;
dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang
melakukan penyitaan.
(2) Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil, penyidik
wajib memberitahukan atau menyerahkan barang sitaan tersebut
kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia setempat
dalam waktu selambat-lambatnya 3 X 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acara
disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, Ketua
Pengadilan Negeri setempat, dan pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Kesehatan.
(3) Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
penyidik wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukan kepada
Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu selambat-lambatnya
3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan
dan tembusannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(4) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang
menerima penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara
yang sekurang-kurangnya memuat;
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
penyerahan barang sitaan oleh penyidik;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika;
d. identitas lengkap pejabat yang melakukan serah terima
barang sitaan.
(5) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan, penyidik menyisihkan sebagian barang
sitaan untuk diperiksa atau diteliti di laboratorium tertentu
yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, dan dilaksanakan selambat-lambatnya
dalam waktu 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan
penyitaan.
(6) Penyidik bertanggung jawab atas penyimpanan barang sitaan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengambilan sampel serta pemeriksaan di laboratorium diatur
dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyimpanan narkotika yang disita ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 70
(1) Kepala Kejaksaan Negeri setempat setelah menerima pemberitahuan
tentang penyitaan barang narkotika dari penyidik, selambat-lambatnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang
sitaan narkotika tersebut untuk kepentingan pemngembangan
ilmu pengetahuan, dan/atau dimusnahkan.
(2) Barang sitaan narkotika yang berada dalam penyimpanan
dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan,
wajib dimusnahkan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima)
hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari Kepala
Kejaksaan Negeri setempat.
(3) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal ayat (1) huruf
a.
(4) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diserahkan kepada Menteri
Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk, selambat-lambatnya dalam
waktu 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan dari
Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dengan Keputusan Jaksa Agung.
Pasal 71
(1) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia wajib
memusnahkan tanaman narkotika yang diketemukan selambat-lambatnya
24 (dua puluh empat) jam sejak saat diketemukan, setelah sebagian
disisihkan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan.
(2) Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan
berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
diketemukan dan dilakukan pemusnahan;
c.keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai tanaman
narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat
atau pihak-pihak lain yang menyaksikan pemusnahan.
(3) Bagian narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) disimpan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia untuk kepentingan pembuktian atau diserahkan
kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.
Pasal 72
Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan barang
sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 dan Pasal 70.
Pasal 73
(1) Apabila dikemudian hari terbukti berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diketahui
bahwa barang sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan
Pasal 70 dan Pasal 71 diperoleh atau dimiliki secara sah,
kepada pemilik barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi
oleh Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 74
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan,
tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak
dan setiap orang atau badan yang diketahuinya atau yang diduga
mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan
tersangka atau terdakwa.
Pasal 75
Dalam hal tertentu, hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan
bahwa seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami,
anak, dan setiap orang atau badan, bukan berasal dari hasil
tindak pidana narkotika yang dilakukan terdakwa.
Pasal 76
(1) Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan
dengan perkara tindak perkara narkotika yang sedang dalam
pemeriksaan, dilarang menyebut nama dan alamat pelapor atau
hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas
pelapor.
(2) Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang
lain mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 77
(1) Narkotika dan alat yang digunakan di dalam tindak pidana
narkotika atau yang menyangkut narkotika serta hasilnya dinyatakan
dirampas untuk negara.
(2) Narkotika yang dinyatakan dirampas untuk negara sebagimana
dimaksud dalam ayat (1) segera dimusnahkan, kecuali sebagian
atau seluruhnya ditetapkan untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan.
(3) Dalam hal alat yang dirampas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, maka
pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut
kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat
pertama.
(4) Tata cara pemusnahan dan pemanfaatan dan narkotika, alat
dan hasil dari tindak pidana narkotika dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-undang ini atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki,
menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman; atau
b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan
, atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar
lima ratus juta rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 79
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan,
atau menguasai narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);
b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan,
atau mnguasai narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) .
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah);
b. ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatan jahat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun denda
paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah;
b.ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah);
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda
paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 80
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit,
atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling lama 20 ( dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
b.memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan
narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah);
c. memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan
narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00
( dua ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat,
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
( dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00
( dua milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatan jahat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas)
tahun, dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu
milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c didahului dengan permufakatan jahat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun,
dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 ( empat ratus juta
rupiah);
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah); dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda
paling banyak Rp. 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda
paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda
paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
Pasal 81
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika
Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
b. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika
Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah);
c. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika
Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (
dua ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 18 (delapan belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar
rupiah);
b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun dan paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasai, dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 4.000.000.000,00
(empat milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasai, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasai, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda
paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda
paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 82
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,
menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, alat menukar narkotika Golongan I, dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak RP. 1.000.000.000,00
(satu miyar rupiah);
b. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,
menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, arau menukar narkotika Golongan II, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda sebanyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. mengimppor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,
menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, atau tukar menukar narkotika Golongan III,
dipidana pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda sebanyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak
pidanan sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana matiatau pidana
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp.750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana
dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00
(tiga milyar rupiah).
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisir, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda
paling banyak Rp. 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi. dipidana denda
paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
c. ayat (10 huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda
paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
Pasal 83
Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 78, 79,80,
81, dan Pasal 82, diancam dengan pidana yang sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal tersebut.
Pasal 84
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. menggunakan narkotika terhadap orang lain dan memberikan
narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidanan
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah);
b. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan
narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan
narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 85
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. menggunakan narkotika Golongan I bagi diri sendiri, dipidana
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. menggunakan narkotika Golongan II bagi diri sendiri, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun;
c. menggunakan narkotika Golongan III bagi diri sendiri,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 86
(1) Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur sebagaimana
dimaksud dalam pasal 46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
atau denda sebanyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan
orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam pasal 46
ayat (1) tidak dituntut pidana.
Pasal 87
Barang siapa menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu,
memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan,
memaksa, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan,
melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup
umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83 dan Pasal 84, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 88
(1) Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja
tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta
rupiah).
(2) Keluarga pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika
tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga)
bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
Pasal 89
Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 90
Narkotika dan hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana
narkotika serta barang-barang atau peralatan yang digunakan
untuk melakukan tindak pidana narkotika, dirampas untuk negara.
Pasal 91
Penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika
dalam undang-undang ini kecuali yang dijatuhi pidana kurungan
atau pidana denda tidak lebihdari Rp. 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) dapat pula dipidana dengan pidana tambahan berupa
pencabutan hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 92
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum menghalang-halangi
atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan
perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).
Pasal 93
Nakhoda atau kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan
hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 atau Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 94
(1) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan
hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 dan Pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan atau denda Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan
hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 dan Pasal 71 dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 95
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan
perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
Pasal 96
Barang siapa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun melakukan
pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan Pasal 87 pidananya dapat
ditambah dengan sepertiga dari pidana pokok, kecuali yang
dipidana dengan pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara
20 (dua puluh) tahun.
Pasal 97
Barang siapa melakukan tindak pidana narkotioka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan Pasal
87, di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan
pula ketentuan undang-undang ini.
Pasal 98
(1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana
narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah
Negara Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik
Indonesia.
(3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana
narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara
Republik Indonesia.
Pasal 99
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah), bagi:
a. pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, sarana
penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, apotik, dan
dokter yang mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,. membeli,
menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan;
c. pimpinan pabrik obat tertentu yang memproduksi narkotika
Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
atau
d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika
Golongan Iyang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
atau mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 100
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika,
dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 101
(1) Prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan
untuk melakukan tindak pidana narkotika ditetapkan sebagai
barang di bawah pengawasan Pemerintah.
(2) Prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan keputusan Menteri Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan
dan pengawasan prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 102
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaandari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3086) pada saat Undang-undang ini diundangkan, masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum
diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 103
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976
Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086) dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 104
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan perundang
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 67 |