Penggunaan
obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia,
jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan
Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut
adalah orang-orang Cina.
Pemerintah
Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk
menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan
berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu
menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan
jalan menghisapnya melalui pipa panjang
Hal
ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia.
Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang
itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).
Ganja
(Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera
lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai
bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca
(Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu
hanya diperuntukkan bagi ekspor.
Untuk
menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan,
Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen
Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State
Gazette No.278 Juncto 536).
Meskipun
demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat
lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan)
tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut.
Setelah
kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan
yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari
obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang
diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State
Gaette No.419, 1949).
Baru
pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis
narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada
waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun
1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika
Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat
dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya
gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang
hampir bersamaan.
Menyadari
hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun
1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan
nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan
(antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap
berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu
pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan
remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang
asing.
Kemajuan
teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan
Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah
tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan
Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang
tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang
peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur
tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32),
dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah
sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.
Dengan
semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia,
maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah
UU Anti Narkotika nomor 22/1997, menyusul dibuatnya UU Psikotropika
nomor 5/1997. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur
pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika,
dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.