Napza
Suntik Percepat Penyebaran HIV
Upaya memproduksi obat antiretroviral
generik melalui PT Kimia Farma Tbk memasuki proses registrasi
pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Direktur
Utama PT Kimia Farma Tbk Drs Gunawan Pranoto Apt menyebutkan,
harga obat yang akan diproduksi itu akan lebih murah
dibandingkan dengan yang diimpor dari Thailand dan India.
Dia memberi ancar-ancar kurang dari Rp 500.000 untuk
keperluan pengobatan sebulan. Obat ini akan disalurkan
melalui Kelompok Studi Khusus AIDS Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia dan rumah sakit.
Sebetulnya tahun 2003 Indonesia mendapat
bantuan obat antiretroviral dari dana global HIV/AIDS
(GF ATM) untuk seratus orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Pemberian bantuan ini belum terlaksana. Menurut Direktur
Pemberantasan Penyakit Menular Langsung Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan, dr Haikin Rachmat MSc, hal itu
disebabkan pihak GF ATM meminta agar obat itu dibebaskan
dari pajak. Maksudnya agar lebih banyak lagi orang yang
bisa mendapatkan terapi obat antiretroviral. Keinginan
itu sudah disampaikan pada Menteri Keuangan, namun belum
mendapat tanggapan. Untuk menindaklanjutinya, sambung
Haikin, Menteri
Kesehatan akan kembali mengajukan pembebasan pajak itu
ke Menteri Keuangan. Soal pembebasan pajak itu juga
dilontarkan Gunawan. Menurut dia, sebaiknya obat itu
bebas pajak (PPN 10 persen) dan bea masuk bahan baku
sebesar 2,5 persen. Bila itu terwujud maka harga ARV
akan lebih murah lagi.
Departemen Kesehatan juga telah mengusulkan
bantuan Rp 200.000 per bulan bagi setiap ODHA agar mereka
mendapat pengobatan memadai. Bantuan yang diajukan untuk
tahun anggaran 2004 itu masih dalam proses dan harus
bersaing dengan bidang kesehatan lain. Hal ini disebabkan
dana di Departemen Kesehatan sangat terbatas. Sementara
itu, di sisi lain virus HIV bisa menular ke siapa pun,
di mana saja dan kapan saja.
Publikasi Joint United Nations Programme
on HIV/AIDS menyebutkan, sindrom kehilangan kekebalan
tubuh (AIDS) telah membunuh 8.000 orang setiap hari
di muka bumi ini. Artinya virus itu menewaskan satu
orang setiap sepuluh detik. Lebih dari 14 juta anak
kehilangan orangtua sejak epidemi AIDS untuk pertama
kalinya terdeteksi.
Setiap tahun sekitar tiga juta orang
meninggal karena AIDS, 500.000 di antaranya adalah anak-anak
di bawah usia kurang 15 tahun. Setiap tahun jumlah orang
yang terinfeksi baru mencapai hampir lima juta orang
(4,2 juta orang dewasa dan 700.000 anak-anak). Lebih
dari 95 persen diantara mereka tinggal di negara sedang
berkembang. Hampir lima puluh persen dari infeksi baru
HIV pada orang dewasa tahun 2003 adalah perempuan, dan
50 persen lainnya kelompok muda berusia 15-24 tahun.
Kecenderungan penyebaran utama penyebabnya adalah hubungan
seks yang tidak aman (80 hingga 90 persen). Meskipun
prevalensi HIV masih rendah di kawasan Asia Timur-Selatan,
tetapi secara global termasuk kelompok yang cepat perkembangannya.
Hal itu terutama bila dikaitkan dengan jumlah penduduk,
dan beberapa faktor lain seperti kemiskinan, ketidakseimbangan
gender, stigma. UNAIDS menyebut di kawasan ini HIV sudah
menyebar pada 6 juta orang. Kondisi ini membuat membuat
Asia Timur-Selatan menempati posisi kedua setelah Sub-Sahara
Afrika. Dari jumlah kasus yang dilaporkan negara-negara
di kawasan ini, 99 persen kasus berada di empat negara
yaitu India, Thailand, Myanmar dan Indonesia. India
dengan 4,58 juta kasus HIV/AIDS berada di urutan kedua
setelah Afrika Selatan dalam hal jumlah kasus. Ada sembilan
daerah di India yang banyak memiliki kasus HIV/AIDS,
yaitu Andhra Pradesh, Karnataka, Maharashtra, Manipur,
Nagaland, dan Tamil Nadu.
80 Persen
Penularan HIV/AIDS juga dipacu pemakaian
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza) melalui suntikan. Separo dari pemakai napza
suntik terinfeksi HIV di Nepal, Myanmar, Thailand, Indonesia,
dan India (Manipur). Laporan kasus HIV/AIDS Ditjen PPMPL
menyebutkan, sejak Januari sampai sampai 30 September
tahun ini ada 133 kasus HIV dan 223 kasus AIDS. Secara
kumulatif, jumlah pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS
sampai 30 September 2003 ada 3.924 kasus dengan perincian
2.685 infeksi HIV, 1.239 kasus AIDS ( 429 di antaranya
telah meninggal). Haikin menyebut penambahan kasus HIV
terutama pada pemakai napza suntik. Khusus untuk kasus
HIV/AIDS tahun 2002, lebih dari 80 persen karena pemakaian
napza suntik. Untuk tahun 2003, kecenderungan penyebaran
juga sama (melalui napza suntik). Tetapi, tidak berarti
penularan melalui hubungan seks yang tidak aman lepas
dari penularan HIV.
Pemakaian napza suntik juga menjadi
sorotan dalam Laporan Kemajuan Global HIV. Survei Laporan
Kemajuan Global mengungkap rendahnya jangkauan akses
pencegahan HIV di kalangan pemakai napza suntik. Secara
global kurang dari lima persen pemakai napza suntik
yang mengakses pencegahan HIV/AIDS. Di Indonesia baru
1,5 persen. Pada akhir tahun 2002, UNAIDS dan WHO menyoroti
peningkatan infeksi HIV pada pemakai napza suntik. Ketika
itu diperkirakan jumlah pemakai napza suntik di Indonesia
160.000 orang dan diperkirakan 43.000 orang diantaranya
telah terinfeksi HIV. Bila perilaku ini dibiarkan maka
jumlah yang terinfeksi HIV akan berlipat ganda tahun
2003 atau sekitar 80 persen dari total seluruh infeksi
baru tahun 2003.
"Pada populasi berisiko tinggi,
prevalensi HIV lebih dari lima persen. Seperti pada
pemakai napza suntik, pekerja seks komersial. Sedangkan
populasi rawan tertular HIV diperkirakan ada 12 juta
orang sampai 19 juta
orang dan estimasi ODHA antara 90.000 sampai 130.000
orang," kata Haikin. Kondisi memakai napza suntik
di masyarakat setidaknya bisa diketahui dari Survei
Surveilans Perilaku tahun 2002 yang dilakukan Badan
Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Kesehatan di DKI
Jakarta pada 25 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Survei dilakukan terhadap 400 siswa laki-laki dan 400
siswa perempuan. Hasilnya menunjukkan sekitar tiga di
antara 10 siswa laki-laki maupun siswa perempuan mengetahui
seseorang dalam keluarganya memakai napza. Di antara
pemakai itu, sebanyak 40 persen pengguna napza suntik.
Selain itu, satu di antara tiga siswa laki-laki (34
persen) mengaku pernah memakai napza walaupun hanya
sekali. Di antara siswa perempuan sekitar 6 persen pernah
memakai napza. Dari yang pernah memakai napza, sebanyak
2,5 persen siswa laki-laki dan 0,5 persen siswa perempuan
menyatakan pernah memakai napza suntik.
Survei yang sama di Manado dan Bitung
dengan responden pekerja seks komersial (PSK) menunjukkan
sekitar 0,5 persen sampai 2,40 persen responden pernah
menggunakan napza suntik. Di Riau (Tanjungpinang) sekitar
2 persen sampai 3 persen PSK pernah menggunakan napza
suntik, di Medan dan Deli Serdang, Sumatra Utara, sekitar
satu sampai tiga persen PSK pernah memakai napza suntik.
Para PSK yang memakai napza suntik
itu berisiko ganda untuk terinfeksi HIV. Selain berisiko
dari napza suntik, mereka juga melakukan kegiatan seks
dengan pelanggan yang juga memakai napza suntik. Apalagi
para pelanggan itu sebagian besar tidak mengenakan kondom.
Laju penyebaran HIV terus meningkat,
namun menurut aktivis HIV/AIDS, Baby Jim Aditya, laju
tersebut tidak dibarengi laju penanggulangannya. Upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang ada dinilai
belum cukup. Dia menyebut, lebih banyak masyarakat yang
belum memahami HIV/AIDS daripada yang sudah. Kendala
lainnya, yaitu pendidikan seks bagi remaja yang masih
dianggap tabu, penanggulangan HIV/ AIDS yang sangat
minim di penjara, masih kuatnya stigma dan diskriminasi
masyarakat terhadap ODHA, bias gender (posisi istri
yang lemah).
Informasi tentang HIV/AIDS yang diberikan
di sekolah sangat terbatas karena keterbatasan dana.
Baby menilai surveilans yang dilakukan pada kelompok
risiko tinggi itu pun merupakan stigmatisasi, karena
hal itu memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa PSK
dan pemakai napza suntik identik dengan HIV. Ada baiknya
bila surveilans dilakukan pada ibu rumah tangga, pelajar,
pelanggan PSK yang sangat berpotensi menularkan HIV
kepada istri atau pasangan seks mereka.
"Bila melihat hasil surveilans
pada kelompok risiko tinggi, jelas saja hasilnya tinggi.
Apakah pelanggan PSK juga disurvei. Ini membuat orang
berpikiran bahwa bila seseorang terinfeksi HIV maka
orang tersebut adalah orang yang suka gonta-ganti pasangan
atau pemakai napza. Padahal tidak selalu seperti itu
keadaannya," tandasnya.
Soal upaya penanggulangan, Koordinator
UNAIDS untuk Indonesia, Jane Wilson, berpendapat berbeda.
Menurut dia, upaya Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
sudah cukup bagus ketimbang negara lain. Meskipun dia
mencatat kapasitas KPA masih terbatas dan masih memerlukan
komitmen pemerintah pusat dan daerah. Jane juga menyinggung
soal desentralisasi yang menjadi tantangan penanggulangan
HIV/AIDS. Ditambahkannya, perlu meningkatkan jangkauan
pencegahan HIV di antara pemakai napza suntik. Di Indonesia,
jangkauan ini masih rendah, yaitu kurang dari 2 persen.*
sumber: Suara Pembaruan 2-12-2003
|